Rabu, 27 Oktober 2010

Perkembangan Agama dan Masyarakat di Indonesia

Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut. Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia,Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi, dan budaya. Di tahun2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Prosestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.

Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Pasca berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di abad modern ini, alam justru menjadi pelayan manusia. Bahkan terdapat kecenderungan ekploitasi terhadap alam bagi kesejahteraan hidup manusia. Proses modernisasi di sebuah negara, yang ditandai dengan semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan diramalkan akan mencabut peran agama dalam masyarakat. 

Namun ramalan itu ternyata tidak sepenuhnya tepat. Hingga kini kita masih melihat kecenderungan kuatnya peran agama dalam masyarakat. Dalam masyarakat modern di kota-kota besar Indonesia, misalnya, menggambarkan adanya kegairahan dalam beragama. Maraknya acara-acara keagamaan dan bermunculannya tokoh-tokoh pendakwah muda menunjukkan adanya permintaan yang sangat besar dari masyarakat kota terhadap otoritas agama. Dalam industri televisi juga dapat dilihat dari begitu tingginya rating acara-acara yang bernuansa agama. Dapat disimpulkan bahwa semakin modern sebuah masyarakat tidak serta merta menggeser peran agama dalam kehidupan mereka. 

Dalam hal-hal tertentu memang kita saksikan adanya pergeseran. Dahulu, hampir semua persoalan sosial yang dialami masyarakat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh agama. Mereka menjadi konsultan dari persoalan publik hingga problem keluarga. Modernisasi kemudian menggeser peran itu. Persoalan sosial tersebut kini sudah terfragmentasi dalam lembaga-lembaga khusus sesuai dengan keahlian dari pengelola lembaga tersebut. Jadi, dalam batas-batas tertentu modernisasi atau perkembangan ilmu pengetahuan memang telah menggeser posisi agama. Namun itu tidak serta merta dapat dimaknai bahwa agama akan kehilangan fungsi dan menghilang dengan sendirinya. 

Sebenarnya, meskipun lembaga-lembaga modern itu dianggap lebih otoritatif ketimbang tokoh-tokoh agama, namun nilai-nilai transenden agama tampaknya masih menjadi pijakan. Kebutuhan manusia terhadap agama menjadi sesuatu yang inheren. Munculnya pendakwah-pendakwah muda selebritis yang kerap muncul di televisi merupakan cermin dari kuatnya permintaan sekaligus pemberian otoritas transenden kepada mereka.
Keberagaman adalah ciri khas Indonesia. Indonesia, bukanlah bangunan negara yang tunggal. Dia terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara multikultur.

Beberapa waktu ini, di negara kita telah terjadi pemfitnahan antar agama mulai dari kasus terorisme, pembakaran kitab suci, dan konflik yang di sulut dengan isu-isu tidak masuk akal. sebenarnya kita sebagai umat beragama harusnya saling menghargai atas kepercayaan agama masing-masing.


Pemuda dan Sosialisasi di Masyarakat


Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknya terbebani bermacam-macam harapan, terutama dari generasi sebelumnya. Hal ini dapat dimengerti karena pemuda adalah generasi penerus yang diharapkan dapat meneruskan dan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang melanjutkan estafet dari generasi sebelumnya guna membangun harapan bangsa selanjutnya.

Lebih menarik lagi pemuda menghadapi masalah-masalah yang sangat bervariasi, dimana jika tidak diatasi dengan cara proporsional maka pemuda kehilangan fungsinya sebagai penerus pembangunan. Hal ini memicu pemuda agar lebih berpikir logis dan tenang dalam menghadapi permasalahan yang menanggapinya.

Disamping menghadapi permasalahan-permasalahan, pemuda memiliki potensi yang melekat pada dirinya dan sangat penting artinya bagi sumber daya manusia. Oleh karena itu, berbagai potensi positif yang dimiliki generasi muda harus dikembangkan. Dalam arti pengembangan maka pemuda harus dibina sesuai dengan asas, arah, dan tujuan pengembangan bakat generasi muda dalam jalur yang tepat serta bertumpu pada pencapaian tujuan nasional dan sebagai mana terkandung dalam Undang Undang Dasar 1945 alinea 4.

Proses sosialisasi pemuda adalah suatu proses yang sangat enentukan kemampuan diri pemuda untuk menselaraskan diri ditengah-tengah masyarakat. Dengan demikian tahapan pengembangan pemuda, dilalui dengan proses kematangan dirinya menghadapi masalah, seorang pemuda harus mampu menseleksi berbagai kemungkinan yang ada sehingga mampu mengendalikan diri dalam hidupnya ditengah-tengah masyarakat, dan tetap mempunyai motivasi sosialyang tinggi akan perubahan.

1. Pembinaan dan Pengembangan Pemuda
Pembinaan dan pengembangan generasi muda ditetapkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan dalam keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor : 0323/U/1978 pada tanggal 28 Oktober 1978. Maksud dari pola pengembangan ini adalah agar semua pihak yang turut serta dan berkepentingan dalam penanganannya benar-benar menggunakannya sebagai pedoman sehingga pelaksanaannya dapat terarah, menyeluruh, dan terpadu serta dapat tepat sasaran dan tujuan yang diinginkan.
Pola dasar pembinaan dan pengembangan pemuda disusun berlandaskan:
a. Landasaan Idiil                   : Pancasila
b. Landasan Konstitusi           : Undang Undang Dasar 1945
c. Landasan Strategis              : Garis-garis Besar Haluan Negara
d. Landasan Historis               : Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 1945
e. Landasan Normatif             : Etika, tata nilai, dan tradisi leluhur

Tanpa ikut sertanya generasi muda, pembangunan ini sulit berhasil bukan karena pemuda merupakan lapisan masyarakat yang cukup besar, melainkan tanpa kreatifitas dan kepedulian pemuda pembangunan bangsa ini tidak dapat merealisasikan tujuan terdahulunya.

Apabila hal itu terjadi maka akan sulit lahir pemimpin-pemimpin yang akan melanjutkan tongkat estafet yang sudah dicanangkan oleh pemimpin terdahulu untuk memenuhi kemauan bangsanya.

Secara klasik masa muda merupakan masa yang paling menyenangkan. Pencarian jati diri dengan melakukan berbagai hal sesuai kehendak hati, kesenangan, sex bebas, narkotika, kenakalan dan lain-lain merupakan refleksi kelebihan energi yang bermuatan negatif. Selama ini pemuda merupakan obyek dan bukan subjek bagi pembangunan. Sehingga hanya sebagai penonton dan penikmat hasil dari pembangunan. Hal ini terjadi karena ketidak percayaangenerasi tua terhadap generasi muda. Takut akan terjadi kegagalan dan sikap mengecilkan bukan suatu sikap yang membangun generasi muda menuju ke arah yang lebih baik karena hal itu dapat mengganggu perkembangan mental pemuda. Tidak adanya kesempatan untuk melakukan pembangunan menumbuhkan suatu perasaan yang membosankan dari diri pemuda. Kegiatan mengasingkan diri dan membentuk kelompok-kelompok preman serta melakukan kegiatan yang meresahkan bagi masarakat umum merupakan suatu cara mereka dalam menyalurkan energy. Dengan demikian tidak dapat di salahkan jika generasi muda yang berikutnya akan demikian. Sikap imitasi/meniru prilaku dari orang lain merupakan proses belajar. Maka lingkungan juga memiliki peran yang cukup besar dalam pertumbuhan setiap insan. Lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah dan lain-lain memiliki porsi yang berbeda dalam membentuk kepribadian anak. Misal seorang anak yang tinggal di lingkungan sekolah pasti memiliki kepribadian yang berbeda dengan anak yang tinggal dilingkungan pasar.

Setiap individu dalam berinteraksi selalu melibatkan individu lain baik yang berkelompok maupun tidak. Dalam hubugannyaindividu dapat mengubah, memperbaiki bahkan merusak eksistensi suatu kelompok/lingkungan demikian juga sebaliknya kelompok/lingkungan juga dapat mengubah dan merusak individu sebagai akibat perusakan individu terhadap lingkungannya. Dengan demikian perspektif masyarakat mengenai pemasalahan-permasalahan pemuda juga harus dilihat dari kaca mata yang berbeda pula. Perilaku yang menyimpang belum tentu karena adanya keinginan dari dalam pemuda itu sendiri melinkan lingkungan yang dibentuk oleh generasi terdahulu juga berpotensi memicu tindakan yang menyimpang oleh pemuda. Keseimbangan antara manusia dan lingkungannya adalah suatu keseimbangan yang dinamis, suatu interaksi yang bergerak. Arah itu sendiri mungkin ke arah kehancuran atau perbaikkan. Hal itu tergantug pada tingkat pengelolaan manusia terhadap lingkungannya, baik potensi manusiawi maupun potensi fisik yang ekonomis. 

Jurang pemisah antar golongan akan musnah jika kita memandang semua golongan itu sebagai totalitas (orang tua, pemuda, anak-anak). Dengan demikian tidak ada pertentangan antara pemuda, orang dewasa (generasi tua) dan anak-anak, secara fundamental. Tidak ada generasi yang menganggap dirinya pelindung generasi sekarang atau yang akan datang. Semuanya bertanggung jawab atas keselamatan kesejahteraan, kelangsungan generasi sekarang dan yang akan dating.Kalaupun perbedaan dalam kematangan befikir, dalam menghayati makna hidup dan kehidupan ini semata-mata disebabkan oleh tingkat kedewasaannya saja. Melainkan perbedaan antara kelompok-kelompok yang ada, antara generasi tua dan generasi muda misalnya, hanya terletak pada derajat dan ruang lingkup tanggung jawabnya.

Proses kehidupan yang dialami oleh para pemuda baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat membawa pengaruh yang besar pula dalam membina sikap untuk dapat hidup di masyarakat. Proses demikian itu bisa disebut dengan istilah sosialisasi, proses sosialisasi itu berlangsung sejak anak ada di dunia dan terus akan berproses hingga mencapai titik kulminasi. Dengan proses sosialisasi, seseorang menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Melalui proses sosialisasi kepribadian seseorang dapat terbentuk. Dalam hal ini sosialisasi diartikan sebagai proses yang membantu individu melalui belajar dan menyesuaikan diri, bagaiman cara hidup dan bagaimana cara berpikir kelompoknya agar dapat berperan dan berfungsi dalam kelompoknya. Proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Berbeda dengan inkulturasi yang mementingkan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan dalam jiwa individu, sosialisasi dititik beratkan pada soal individu dalam kelompok melalui pendidikan dan perkembangannya. Sosialisasi sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Mau tidak mau, proses sosialisasi pasti akan kita hadapi dan jalani didalam kehidupan. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, begitu juga pemuda.

Fenomena Masyarakat Desa dan Masyarakat Perkotaan di daerah Yogyakarta.


A. Definisi Masyarakat

Dalam Bahasa Inggris masyarakat disebut Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk hubungan hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan satu kesatuan.

1. Ciri-ciri Masyarakat pedesaan
Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut :
a. Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)
d. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e. Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu.

2. Ciri-ciri masyarakat Perkotaan
Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :
a. Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.
b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).
c. Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.
e. Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.
f. Perubahan-perubahan tampak nyata dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar

3. Perbedaan antara pedesaan dan perkotaan
Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.
Kita dapat membedakan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat  

Berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:

Masyarakat Pedesaan :
- Perilaku homogen
- Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan
- Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status
- Isolasi sosial, sehingga statik
- Kesatuan dan keutuhan kultural
- Banyak ritual dan nilai-nilai sakral
- Kolektivisme

sedangkan
Masyarakat perkotaan :
- Perilaku heterogen
- Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
- Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
- Mobilitas sosial, sehingga dinamik
- Kebauran dan diversifikasi kultural
- Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekular
-Individualisme

B. Hubungan masyarakat pedesaan dan perkotaan.
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanaman mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.

“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.

Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa dan kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.
Terlepas dari penjelasan yang ada tentang masyarakat perkotaan dan pedesaan telah terjadi kesenjangan sosial antara masyarakat pedesaan dan perkotaan. Contohnya adalah di daerah Yogyakarta. Semakin banyaknya penduduk yang berbeda penghasilan ini membuat kesenjangan sosial begitu memprihatinkan. Yang kaya menjadi tambah kaya dan yang berada dalam garis kemiskinan tetap makin terperosok dengan kemiskinan meski sudah berusaha memperoleh penghidupan yang layak. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 34 disana tertulis “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dinegara kita. 

Semakin tahun bertambahnya usia kemerdekaan kita, nampaknya jumlah kemiskinan semakin meningkat dan bertambah dengan diiringi lapangan kerja yang tak dapat membendung tenaga kerja siap pakai yang ada di daerah Yogyakarta. Lapangan pekerjaan yang tersedia juga tidak dapat membantu masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang layak. Adalah pendidikan yang menjadi masalah utama masyarakat Yogyakarta untuk mendapatkan pekerjaan yang baik tentunya dengan penghasilan yang baik pula. Kebanyakan masyarakat pedesaan di Yogyakarta adalah petani, sedangkan di perkotaan cenderung dengan bekerja sebagai pegawai. Tetapi, walaupun masyarakat pedesaan di Yogyakarta sebagian besar adalah petani dan tidak mempunyai penghasilan yang tetap mereka masih bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan pas-pasan. Lain halnya dengan perkotaan, walaupun masyarakat perkotaan adalah pegawai, tetapi masyarakat perkotaan cenderung dengan pemecatan dan kerja dengan menggunakan alat seperti mesin. Memang hal ini merupakan kesenjangan sosial teramat jauh untuk masyarakat pedesaan dan perkotaan jika dilihat dari penghasilan, belum lagi dengan pendidikan. Data BPS pada tahun 2009 menunjukkan jumlah penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan menunjukkan hal yang relatif berbeda. Ternyata masyarakat perkotaan di Yogyakarta memiliki jumlah masyarakat miskin yang lebih banyak dari pedesaan. 
 
Provinsi
Jumlah Penduduk Miskin (000)
% Penduduk Miskin
Garis Kemiskinan (Rp)
Kota
Desa
K+D
Kota
Desa
K+D
Kota
Desa
K+D
DI Yogyakarta
  311,5
  274,3
  585,8
14,25
22,60
17,23
228 236
182 706
211 978
 
Dari data tersebut dapat terlihat perbedaan masyarakat pedesaan dan perkotaa yang berada dalam kemiskinan.

Referensi :
www.bps.go.id/data_kemiskinan_daerah_Yogyakarta_tahun_2009.
UUD 1945, pasal 34.