PENDAHULUAN
Dalam dua dasa warsa terakhir ini telah terjadi perubahan sosial dan
ekonomi yang cukup berarti di pulau Jawa, khususnya di pedesaan. Salah satu
perubahan itu tercermin dari meningkatnya mobilitas penduduk, terutama
mobilitas dari pedesaan ke perkotaan. Bersamaan dengan meningkatnya
pendapatan dari minyak, pesatnya industrialisasi dan pengembangan pertanian
serta perbaikan prasarana transportasi dan komunikasi yang dimulai pada awal
tahun 1970-an telah mempermudah proses perubahan-perubahan tersebut. Usahausaha
pembangunan itu telah menciptakan kesempatan kerja, baik di sektor
industri maupun pertanian, karena dalam sepuluh tahun terakhir ini kedua sektor
itu pertumbuhannya relatif rendah bila dibandingkan dengan dua puluh tahun
yang lalu. Karena pertumbuhan penduduk di pedesaan lebih cepat dari pada
pertumbuhan kesempatan kerja, maka bagi mereka yang sebagian besar baru
masuk angkatan kerja menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam
situasi seperti ini kebanyakan penduduk pergi keluar desa terutama ke kota untuk
mencari pekerjaan tetap atau sementara (Effendi, 1992:1).
Daerah perkotaan sudah lama dipandang sebagai pusat kemajuan dan
pembangunan, pusat pemasaran berbagai barang dan ide, tempat berkembangnya
suatu bentuk masyarakat yang didasarkan pada perjanjian timbal balik, cermin
untuk dijadikan teladan, tempat bertemunya aneka ragam paham dan aliran serta
pusat peradaban dan kebudayaan. Hal inilah yang menjadikan daya tarik daerah
perkotaan sehingga membuat penduduk daerah pedesaan berduyun-duyun datang
ke kota yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kota dianggap sebagai
daerah yang penuh kemajuan bertentangan dengan desa yang dianggap
terbelakang dan belum maju (Departemen P & K, 1992).
Secha Alatas, Suharso dan Munir
(dalam Wiyono, 1994) mengatakan bahwa faktor ekonomi merupakan motif
utama masyarakat mengadakan mobilitas atau migrasi. Motif tersebut selain
sebagai pertimbangan ekonomi yang rasional juga disebabkan karena mobilitas ke
perkotaan yang telah mereka lakukan mempunyai dua harapan yaitu untuk
memperoleh pekerjaan dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih
tinggi daripada yang diperoleh di pedesaan.
Data menunjukkan bahwa dari 3889 jumlah angkatan
kerja yang ada, 3025 orang (77,9 %) pergi ke kota Jakarta dan sekitarnya untuk
membuka usaha warteg. Kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi dipilih
sebagai daerah tujuan usaha di samping karena jaraknya relatif dekat dan
transportasinya relatif mudah, juga karena di Jakarta banyak kerabat sehingga
memudahkan mereka untuk memperoleh bantuan dalam memulai dan
mengembangkan usaha warteg.
Data menunjukkan bahwa dari 3889 jumlah angkatan
kerja yang ada, 3025 orang (77,9 %) pergi ke kota Jakarta dan sekitarnya untuk
membuka usaha warteg. Kota Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi dipilih
sebagai daerah tujuan usaha di samping karena jaraknya relatif dekat dan
transportasinya relatif mudah, juga karena di Jakarta banyak kerabat sehingga
memudahkan mereka untuk memperoleh bantuan dalam memulai dan
mengembangkan usaha warteg.
Remitan dalam Kehidupan Pedagang Warteg Desa Cabawan
“Wartegan” atau membuka usaha warung nasi khas daerah Tegal
merupakan mata pencaharian pokok masyarakat desa Cabawan. Bagi mereka
menjadi pedagang warteg merupakan suatu kebanggaan tersendiri dan mereka
merasa cocok dan senang dengan profesi itu karena dengan mengelola warteg
selain mampu menjalankan usahanya secara mandiri tanpa ada pihak-pihak yang
mengaturnya sehingga hal ini menimbulkan kebebasan dan kepuasan mereka
dalam menjalankan usahanya.
Mereka bercermin pada kesuksesan pedagang warteg yang sudah menjalankan
usahanya sebelumnya karena selama ini tidak ada pedagang warteg yang sukses di
kota lain selain kota Jakarta. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya kota-kota di
sekitar Jakarta seperti Bogor, Tangerang dan Bekasi ikut menjadi sasaran usaha
warteg.
Di samping itu membuka warteg di kota Jakarta memang sudah menjadi
tradisi turun temurun yang ada di desa ini. Hal itu terungkap dari salah satu
informan yang mengatakan:
“Kalau mau mencari makan pergilah ke arah barat dan kalau mau
mencari ilmu pergilah ke arah timur”.
Rupanya Jakarta yang arahnya ke barat dari kota Tegal merupakan sasaran
usaha warteg karena perkembangan kota Jakarta yang pesat dan kondisi
masyarakatnya sangat heterogen dipandang cocok untuk usaha warteg. Pada
kenyataanya warteg di Jakarta rata-rata berhasil sehingga dalam perkembangan
selanjutnya kota-kota di sekitarnya ikut menjadi sasaran pengembangan usaha
warteg.
Dampak Remitan dalam Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Remitan ada dalam sepanjang sejarah migrasi. Curson mengungkapkan
bahwa dampak remitan terhadap keluarga serta masyarakat penerimanya
sangatlah kompleks. Secara garis besar dampak remitan terhadap kehidupan sosial
ekonomi masyarakat penerimanya ada tiga. Pertama, ketergantungan ekonomi.
Alur remitan tidak hanya untuk individu keluarga tertentu saja, tetapi dalam
banyak kasus juga berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi daerah asal migran
secara keseluruhan. Kedua, terjadi perubahan sosial. Ada dugaan atau anggapan
bahwa remitan adalah suatu kekuatan positif yang mampu membuat perubahan di
daerah pedesaan, seperti meningkatkan pendapatan perkapita, merupakan
investasi, dan mampu meningkatkan mobilitas sosial.
Dampak remitan menurut laporan The State Word Population (1993),
Hugo dan Renard (1987), di Asia atau negara-negara Afrika menunjukkan
manfaat positif. Dampak positif remitan dipergunakan antara lain untuk
memenuhi biaya sekolah, membiayai fasilitas pendidikan, kesehatan dan
konsumsi. Yang paling penting remitan membantu mengentaskan keluarga dari
kemiskinan. Tentu saja dampak negatifnya juga ada seperti sifat konsumerisme
yang berlebihan dan tekanan inflasi (inflationary pressure), namun secara umum
remitan berdampak positif baik bagi negara maupun keluarga pelaku mobilitas
(dalam Wiyono, 1994).
Pada masyarakat desa Cabawan dampak remitan ternyata sangat
kompleks. Hal ini disebabkan karena remitan merupakan bagian terpenting dalam
kehidupan mereka karena sebagian besar keluarga yang tinggal di desa sangat
menggantungkan kehidupan dari remitan. Dampak itu terlihat antara lain dalam
perubahan ekonomi keluarga dan desa, perubahan gaya hidup, pola pengasuhan
anak, serta pada tenaga kerja yang ada di desa.
Motif ekonomi merupakan alasan utama penduduk dalam melakukan
pengiriman remitan. Pedagang warteg Cabawan melakukan hal ini karena pada
dasarnya walaupun mereka berusaha di kota tetapi keluarga di desa tetap merupakan satu kesatuan ekonomi. Pengiriman remitan selain untuk keperluan
hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan kesehatan, juga digunakan untuk
pembangunan rumah, membeli perabotan, alat elektronik dan juga investasi di
desa.
Secara ekonomi di desa terjadi peningkatan dan kemajuan. Hal itu bisa
terlihat dengan terjaminnya kehidupan ekonomi mereka dan secara fisik terlihat
dari kondisi rumah mereka beserta perabotan yang ada di dalamnya. Bentukbentuk
rumah semakin bagus dan berdasarkan pengamatan peneliti rata-rata
kondisi rumah pedagang warteg memang bagus baik dilihat dari bentuk maupunbahan yang dipergunakan serta pengecatan rumahnya. Hal tersebut senada dengan
ungkapan salah seorang perangkat desa yang mengatakan:
“Orang Cabawan kalau membuat rumah tidak mau memakai bahan yang
asal-asalan saja. Bahan untuk “kusenan” misalnya harus memakai bahan
dari kayu jati karena mereka enggan memakai dari bahan yang lainnya.
Walaupun mahan tidak masalah bagi mereka asalkan mutunya bagus”.
Perabotan yang ada di rumah juga cukup lengkap misalnya bufet, sofa,
almari, tv, radio, telepon, kipas angin, antena parabola, bahkan untuk peralatan
kendaraan bermotor misalnya itu bukan hal yang baru lagi. Bahkan banyak
diantara mereka yang sudah mempunyai kendaraan roda empat.
Meningkatnya remitan untuk kemajuan ekonomi keluarga juga berdampak
pada kemajuan desa karena pada kenyataannya mereka juga menyumbangkan
untuk keperluan pembangunan desa. Besarnya remitan untuk pembangunan desa
memang sulit diukur secara statistik tetapi tampak nyata pada pembangunan
sarana-sarana fisik di desa. Pembangunan balai desa, jalan raya desa, gang,
perbaikan got, perbaikan gedung pos kamling adalah bentuk sumbangan yang
telah diberikan oleh para pedagang warteg.
Dari segi pembayaran pajak pun misalnya pajak bumi dan bangunan, serta
pajak yang lainnya bisa dilunasi penduduk Cabawan secara baik dan
Penarikannya tergolong lancar asalkan pada saat penarikan mereka sedang berada
di rumah. Kemandirian penduduk dalam proses pembangunan di desanya memang
tidak diragukan lagi sehingga pada saat diadakan lomba desa untuk kriteria desa
swadaya, desa Cabawan berhasil memperoleh juara I sebagai Desa Swadaya
tingkat kabupaten dan kotamadya se-Jawa Tengah.
Peningkatan perekonomian penduduk berpengaruh juga dalam hal perilaku
sosial dalam masyarakat. Meningkatnya remitan yang mengalir ke desa
menyebabkan perubahan gaya hidup dalam kehidupan masyarakat desa Cabawan.
Masyarakat terlihat lebih konsumtif dan materialistis apalagi hal itu lebih sering
dikaitkan dengan “simbol status” dan “prestise sosial” yang ingin diraihnya.
Mereka beranggapan salah satu simbol keberhasilan dalam berusaha adalah
rumah, sehingga dalam membangun rumah terkesan saling berlomba dan berusaha
Meningkatnya remitan ke desa selain menyebakan peningkatan dalam
bidang ekonomi juga menyebabkan peningkatan migrasi. Hal ini karena mereka
tergiur oleh kesuksesan dan kemewahan yang dicapai oleh teman-temannya.
Tenaga kerja produktif di desa semakin berkurang karena rata-rata penduduk yang
melakukan urbanisasi adalah mereka yang berusia produktif dalam arti tenaganya
masih sangat potensial untuk menjalankan pekerjaan di daerah asal (Dep. P dan K,
1992:103).
Banyaknya penduduk usia produktif yang terjun sebagai pedagang warteg
menyebabkan semakin berkurangnya tenaga produktif di desa ini, sehingga untuk
aktivitas di desa ini kadang terpaksa didatangkan dan menyewa tenaga dari desa
tetangga, misalnya untuk pengerjaan pembangunan rumah, untuk pengerjaan
lahan pertanian, bahkan pada saat acara lomba desa. Cabawan kekurangan tenaga
untuk pelaksanaan acara tersebut. Bahkan kepala desa pun sempat kewalahan
16
dalam acara-acara yang diselenggarakan di desa karena yang ada hanya tenagatenaga
yang kurang produktif sehingga kalau itu digerakkan kawatir hasilnya
meragukan. Misalnya dalam hal pendataan penduduk dan administarasi desa
lainnya, Kades sering kurang cocok dengan aparat desa (yang usianya cukup tua)
yang membantunya karena sering kali data kurang sesuai dan terkesan dikerjakan
secara “asal-asalan” saja. Akhirnya sebagai jalan tengah Kades terpaksamengangkat pegawai dari desa tetangga untuk membantu kelancaran
administarasi desa.
DAFTAR PUSTAKA
1997, Laporan Monografi Desa Cabawan Kecamatan Margadana Kotamadya
Tegal Jawa Tengah
Curson, Peter. 1981. Population Geography: A Journal Of Association Of
Population Geographer Of India, Volume 3
Dep. P dan K. 1992. Dampak Urbanisasi Terhadap Pola Kegiatan Ekonomi
Pedesaaan Indramayu (Proyek Penelitian Dan Pembinaan Nilai-Nilai
Budaya)
Everret, S. Lee. ......, Teori Migrasi, Yogyakarta: PPK UGM
Effendi, Tadjudin Noer. 1992. Perilaku Mobilitas Dan Struktur Sosial Ekonomi
Rumah Tangga: Kasus Dua Desa Di Jawa Barat. Yogyakarta: PPK UGM
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Antropologi. Jakarta: Gramedia
_________, 1984. Masalah-Masalah Pembangunan (Bunga Rampai). Jakarta:
Gramedia
_________, 1992. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. (Bunga Rampai).
Jakarta: Gramedia
1997. Kompas 15 Agustus 1997. Di Kabupaten Tegal Jabatan Kades Kurang
Menarik
Manning, Christ dan Tadjudin Noer Effendi. 1992. Urbanisasi, Pengangguran
Dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Yayasan Obor
Mantra, IB. Mobilitas Sirkuler dan Pembangunan Daerah Asal. Warta
Demografi. FE UI
Rahayu, Maria Sri. 1999. Remitan dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial
Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus Terhadap Pedagang Warteg Desa
Cabawan Kecamatan Margadana Kotamadya Tegal Jawa Tengah)
Rusli, Said. 1983. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: PT Pustaka LP3ES
Singarimbun, Masri. 1990. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES
Wiyono, Nur Hadi. 1994. Mobilitas Penduduk dan Revolusi Tranportasi, Warta
Demografi No. 3, Jakarta: LD UI