Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kemiskinan merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatau sistem yang berinteraksi, interilasi, interdependensi, dan ramifikasi. Dengan demikian wajarlah apabila menghadapi masalah yang kompleks, memerlukan studi mendalam dan analisis interdisipliner jika tidak mau mencampurkan unsur-unsur sintesis dengan sintesisnya sendiri.
Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori, diantaranya pandangan aristetoles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diindrai dan dapat merangsang budi. Menurut Decartes ilmu pengetahuan merupakan serba budi; sedangkan menurut Immanuael kant pengethuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman; dan teori phyroo menyatakan, bahwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan. Dari berbaai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh sumber-sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan , pengalaman, atau keraguan karena tidak ada ilmu pengetahuan yang pasti.
Banyaknya teori dan pendapat tentang ilmu pengetahuan dan kebenaran mengakibatkan ilmu pengetahuan yang sulit didefinisikan. Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan penelitian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistematis, kemudian menggolongkannya dan membuktikan dengan cara berpikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif. Yang terakhir adalah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta yang sebenarnya.
Apa itu kemiskinan? Mendefinisikan kemiskinan bisa menjadi perdebatan yang tidak berujung pangkal. Tetapi menurut petani Komunitas di Kabupaten Gunung Kidul mendefinisikan : “Orang miskin itu bukan karena tidak memiliki beras, tetapi orang miskin tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga karena tidak adanya jaminan penghasilan”. Sedangkan komunitas di Kabupaten Sampang mendefinisikan :“Kemiskinan itu tidak bisa hanya dilihat dari kepemilikan ternak sapi, tegalan jagung dan padi, dinding rumah dari bambu (tabing), tidur di balai (lencak tonggu) tapi orang miskin adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, hidup sebatang kara serta hubungan keluarga yang tidak harmonis” (KIKIS, Terenggutnya Kedaulatan Petani Lahan Kering). Namun diluar seperti yang diungkapkan oleh petani tersebut, “peminggiran” atau “exclusion” adalah juga menjadi bagian dalam arti kemiskinan, begitu pula makna “ketertindasan” (“oppression”) yang tak jauh dari “ketergantungan” atau “subordination”. Sehingga, Tak cukup definisi “miskin” merujuk pendapatan kurang atau pangan kurang (UNDP-PSI, 2000).
Bagaimana kemiskinan menjadi bagian dari kehidupan petani? Hal ini terjadi karena adanya tekanan-tekanan yang menjadikan situasi petani masuk ke dalam situasi buruk. Tekanan-tekanan tersebut berupa tekanan ekonomi global, tekanan ekologi, tekanan demografi, tekanan budaya, dan tekanan politik.
Tekanan Ekonomi Global
Sejak Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) berdiri pada 1944 serta GATT (yang sekarang berubah menjadi WTO) pada 1947, dunia sudah diarahkan untuk memasuki globalisasi ekonomi. Dengan berdirinya lembaga-lembaga tersebut, maka masalah pembangunan (termasuk pengentasan kemiskinan) menjadi tanggung jawab internasional. Akan tetapi, bentuk lembaga yang mentereng ternyata tidak memberikan jaminan kerja yang baik. Karena bukannya pengentasan kemiskinan yang terjadi di dunia. Fakta menunjukkan, secara absolut, jumlah kemiskinan terus membubung. Jika pada 1978, penduduk dunia yang di bawah garis kemiskinan sekitar 800 juta jiwa, pada 1994, angka ini mencapai sekitar 1.300 juta jiwa.
Di Indonesia, jumlah penduduk miskin tidak mengalami penurunan signifikan, bahkan dapat dikatakan masih cukup tinggi. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin sebesar 54,2 juta jiwa (40,1 %) dan pada tahun 1996 turun menjadi 22,5 juta jiwa (11,3 %). Tetapi Kondisi ini tiba-tiba saja memburuk setelah Indonesia mengalami tahun 1997, Jumlah orang miskin meningkat 2 kali lipat, yaitu 49,5 juta jiwa (24,23 %) dan pada tahun 2002 berdasarkan data susenas terakhir menunjuk jumlah penduduk miskin sedikit turun menjadi 37,7 juta jiwa.
Nampaknya, Apa yang dilakukan ketiga institusi instrumen pembangunan global tersebut adalah cenderung menciptakan suatu perangkap kemiskinan (poverty trap) sehingga setiap upaya mengentaskan kemiskinan pada akhirnya justru akan memperbesar kemiskinan. Saat ini Indonesia menerima dampaknya.
Bentuk-bentuk program pembangunan yang dimotori oleh institusi global tersebut telah mendorong kehidupan masyarakat miskin semakin terpuruk dalam kemiskinan. Ambillah dalam bidang pembangunan pedesaan khususnya bidang pertanian yang dikenal dengan program revolusi hijau. Program revolusi hijau yang kemudian dikenal dengan program intersifikasi seperti Program BIMAS/INMAS, justru mendapatkan kritik tajam. Hal ini dikarenakan praktik di lapangan menunjukkan: Pinjaman BIMAS tidak sampai pada orang yang membutuhkan; Program BIMAS mempercepat terjadinya pengkonsentrasian tanah, khususnya pemilik tanah yang luas (petani kaya) mendapatkan manfaat lebih banyak; dan Karena bibit unggul bertumpu pada penggunaan pupuk dan pestisida maka pemilik lahan sempit bertambah miskin karena terlibat hutang yang cukup besar.
Program intensifikasi pada awalnya cukup menjanjikan karena mampu meningkatkan kinerja pertanian (meskipun untuk sementara), setelah itu kinerja pertanian kita terpuruk. Seperti yang ditunjukkan produksi padi, kedelai, jagung, dan berkembang dari 2,5 ton menjadi 10 ton gabah, 0,6 ton menjadi 1,6 ton ose kedelai, dan 1,6 ton menjadi 6,8 ton pipilan jagung/hektar/musim tanam, swa sembada pangan hanya bisa dicapai tahun 1984, bertahan sampai tahun 1986. Setelah itu, pengadaan pangan (kedelai, jagung, beras, dan gula) terpuruk terus dalam ketagihan impor pangan sampai sekarang. Kita benar-benar sudah terjebak.
Dalam situasi keterjebakan tersebut, negara juga dipaksa oleh institusi international untuk menghilangkan segala bentuk perlindungan bagi rakyatnya, kususnya petani. Dalam bentuk kesepakatan perdagangan bidang pertanian yang dikenal dengan AoA (Agreement on Agriculture atau kesepakatan tentang pertanian), Indonesia dipaksa untuk menjalankan :
a. Penghapusan subsidi ekspor, dimulai dengan pengurangan 36 % dari nilai subsidi dan 21 % dari volume ekspor yang disubsidi. Artinya, kalau selama ini pemerintah memberikan dukungan subsidi bagi ekspor pertanian, harus secara perlahan dikurangi.
b. Penghapusan/pengurangan subsidi domestik bagi petani. Pemerintah tidak boleh lagi mensubsidi petani atau perlahan-lahan menurunkan jumlah subsidi hingga 20 %.
c. Akses pasar melalui pengurangan tarif impor. Ini artinya produk impor akan membanjiri pasar kita dengan harga murah. Bahkan pemerintah sempat membuat tarif beras dan gula impor 0 – 25 % saja.
Berbagai tindakan yang dilakukan oleh institusi global tersebut mendorong masyarakat Indonesia masuk dalam dinamika pasar. Ketika masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) masuk dalam dinamika pasar, maka bentuk-bentuk tekanan pasar mulai dirasakan oleh petani. Tekanan pasar yang secara nyata dirasakan oleh petani adalah bentuk tekanan pola kerja dan tekanan perubahan nilai tukar. Barang hasil produksi petani tidak memiliki nilai sama sekali (rendah) di pasaran. Ambil contoh kasus susu di Boyolali, harga 1 (satu) liter susu dari petani dihargai sebesar Rp 1.300,- (seribu tiga ratus rupiah), sedangkan air kemasan (dimana airnya juga mencuri dari milik petani) dalam 650 ml (tidak sampai satu liter) dihargai Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar