Rakyat Indonesia semakin terbiasa dengan kalimat bahan pokok naik. Mereka rutin mendengar penjelasan rasional namun tak masuk akal dari pengambil kebijakan di negeri ini. Para pedagang ayam boiler tradisional pun mogok tidak berjualan karena harga ayam melambung tinggi. Akhirnya ini memengaruhi nilai layak kesejahteraan rakyat Indonesia.
Namun, tampaknya hal itu belum mencemaskan para pemimpin. Pemimpin masih mengangap wajar persoalan ini sembari mengusung teori supply and demand. Seolah-olah persoalan tersebut hanyalah persoalan ekonomi semata. Lantas, siapa yang patut disalahkan?
Bila kita menengok Ketetapan MPR No VII Tahun 2001 tentang visi Indonesia 2020 dengan pencanangan untuk kemajuan di segala bidang bagi rakyat Indonesia maka keengganan pemerintah dalam menekan (mengintervensi) harga-harga makanan di pasar merupakan wujud ketidakpedulian. Jika merunut pada ekonomi Pancasila pasal 33 jelas tergambar visi sebuah bangsa bernama Indonesia pernah ada.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara." dan " Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang." Jadi sudah pasti mau tidak mau kita wajib ikut serta dalam membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
Beberapa dasar hukum dan peraturan tentang Wajib Bela Negara :
1. Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.
2. Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
3. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
4. Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI.
5. Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI.
6. Amandemen UUD '45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3.
7. Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti :
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn
4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.
Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi kedaulatan dan kesatuan NKRI.
Beberapa jenis / macam ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan negara :
1. Terorisme Internasional dan Nasional.
2. Aksi kekerasan yang berbau SARA.
3. Pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut, udara dan luar angkasa.
4. Gerakan separatis pemisahan diri membuat negara baru.
5. Kejahatan dan gangguan lintas negara.
6. Pengrusakan lingkungan.
Tambahan :
Hati-hati pula dengan gerakan pendirian negara di dalam negara yang ingin membangun negara islam di dalam Negara Indonesis dengan cara membangun keanggotaan dengan sistem mirip mlm dan mendoktrin anggota hingga mereka mau melakukan berbagai tindak kejahatan di luar ajaran agama islam demi uang. Jika menemukan gerakan semacam ini laporkan saja ke pihak yang berwajib dan jangan takut dengan ancaman apapun.
Namun, pertanyaannya kemudian mengapa tidak berkesinambungan dan semakin membingungkan rakyat? Di mana kemakmuran yang dijanjikan itu? Terlebih pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi minimal 5 sampai 6 persen per tahun!
Pemimpin kita hari ini hanya sibuk persoalan ekonomi makro saja. Wacana Bank Indonesia (BI) mengurangi nol di belakang tanpa mengurangi nilai mata uang rupiah terhadap dolar (denominasi) merupakan contoh pemerintah hanya berpikir ekonomi secara makro. Ketika headline media-media fokus mempertanyakan arah berpikir dan bertindak pemerintah khususnya persoalan BI di bawah kepemimpinan Darmin Nasution nampak seperti pengalihan isu atau opini publik dari terabaikannya ekonomi rakyat kebanyakan.
Mereka tidak pernah berpikir bahwa persoalan ekonomi rakyat erat kaitannya dengan sistem nilai demokrasi yang kita anggap sebagai tata nilai paling 'cocok' dan final. Arbi Sanit dalam "Reformasi Politik Menuju Demokrasi 2009", mengatakan kecenderungan kuat Undang-Undang Politik adalah mendekati demokrasi secara umum yang memfokuskan diri pada pembenahan masing-masing lembaga politik dan pemerintahan yang bersangkutan. Tanpa dilandasi prinsip politik dan pemerintahan demokratis secara konsisten. Sehingga, saat ini terjadi secara bersama tidak mendukung satu sistem politik dan pemerintahan dalam mengambil kebijakan yang dicanangkan dalam bentuk visi termasuk visi ekonomi kerakyatan.
Pertanyaannya kemudian di manakah makna kemerdekaan sejati buat rakyat kecil? Apakah pemerintah atau rezim saat ini punya visi kedaulatan dan kesejahteraan rakyat cilik? Lebih jauh lagi mana nasionalisme pemerintah? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan pada kita betapa tidak pekanya pemimpin bangsa terhadap rakyatnya. Para elit tua licik hanya mampu memikirkan kesejahteraan diri dan kelompoknya saja. Sementara kesejahteraan rakyat tergadai dan terbaikan!
Lalu, di manakah peran kesejarahan pemuda diposisikan? Padahal, dalam setiap denyut nadi perubahan di negeri ini selalu tidak melewatkan peran penting pemuda. Pemuda sesungguhnya bukan sekadar bagian dari lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka memainkan peranan penting dalam perubahan sosial. Tapi, jauh daripada itu, pemuda merupakan konsepsi yang menerobos definisi pelapisan sosial tersebut. Terutama
Terkait dengan konsepsi nilai-nilai (Abdul Ghopur, Opini, 10, 2009).
Semangat kaum muda baru dimaknai sebagai semangat kebersamaan. Terlahir di bumi Indonesia namun berasal dari suku bangsa yang berbeda saja. Belum menyentuh kepada sasaran bagaimana visi Indonesia menjadi keinginan atau kewajiban bersama komponen bangsa.
Pemuda hari ini banyak yang terjebak political practice (politik praktis) yang berbalut pragmatisme sempit! Banyak contoh kasus sikap pragmatisme yang dilakukan pemuda. Misalnya tertangkapnya politisi muda kita Al Amin Nasution atas dakwaan korupsi atau suap miliaran rupiah dana alih fungsi lahan. Al Amin merupakan anggota DPR RI dari fraksi PPP dan mantan aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Kasus Al Amin merupakan cerminan pragmatisme seorang mantan aktivis muda yang ingin mentransformasi diri pribadi secara instan tanpa harus bekerja keras.
Contoh dari sikap pragmatisme politik pemuda adalah masuknya para mantan aktivis pemuda ke dalam lingkaran kekuasaan. Sederet nama seperti: Andy Arif, Syahganda Nainggolan, Aam Sapulete, Anas Urbaningrum, Rama Pratama, dan Nusron Wahid, semuanya masuk dalam lingkaran kekuasaan. Andi, mantan aktivis mahasiswa yang diculik Tim Mawar Kopassus, kini diangkat menjadi komisaris PT Pos Indonesia. Syahganda didaulat menjadi komisaris PT Pelindo. Ada pun Aam Sapulete menjadi komisaris PT Perkebunan VII (Lampung). Nusron Wahid dan Rama Pratama merupakan anggota DPR RI dari fraksi Golkar dan PKS. Sedangkan Anas yang mantan Ketua Umum HMI kini menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat (Abdul Ghopur, 2008).
Belajar dari pengalaman di atas, untuk menghindari paria di negeri yang merdeka, ke depan pemuda harus mampu merebut dan merealisasikan peran kesejarahannya. Pemuda harus bisa merealisasikan dan mengartikulasikan gagasan progresif-revolusionernya dengan jalan keadaban.
Tanpa gagasan yang brilian, progresif-revolusioner dan visioner, mustahil peran kesejarahan itu dapat diraih dan diejawantahkan ke dalam satu gugus gerakan perubahan. Hal inilah yang dilakukan oleh generasi seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Natsir, Wahid Hasyim, dan lain-lain. Sebab, sejarah memang seperti selalu berulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar